Bagi orang Lombok,
panggilan ‘Amaq’ atau ‘Bapak’ untuk memanggil seorang ayah,
bukan hanya soal komparasi antara bahasa sasak dan bahasa indonesia, melainkan
sebuah gambaran ‘status sosial’ suatu keluarga didalam masyarakat.
( gambar hanya pemanis ) |
Biasanya, ‘Amaq’ adalah
panggilan seorang anak kepada ayahnya dari kasta petani dan buruh. Sedangkan
panggilan ‘Bapak’ biasanya digunakan oleh kalangan orang-orang terpandang,
seperti para pegawai pemerintah, atau tokoh masyarakat.
Kaitannya dengan
penggunaan gelar ‘Haji’, (bagi orang yang sudah melaksanakan ibadah haji), jika
seorang ‘Amaq’ sudah berhaji, dan resmi menyandang gelar haji, maka secara
otomatis, dia yang sebelumnya hanyalah seorang ‘amaq’, resmi juga menjadi
‘bapak’. Namanya bukan “amaq tuan” (amaq
haji) , tapi “bapak tuan” alias "bapak haji". Ini secara khusus, untuk orang lombok
lho ya,, nggak tau deh kalo daerah lain.
Bagi sebagian
masyarakat, penambahan gelar ‘Haji’ dibelakang nama dan perubahan panggilan
dari ‘amaq’ menjadi ‘bapak’, merupakan sesuatu yang sangat sakral. Kalo dia
sudah haji, lalu kita panggil dia ‘amaq’ bisa-bisa dia nggak mau noleh, ya,,
namanya juga udah mendarah daging. Seolah-olah ibadah haji Bukan lagi murni
untuk mencari haji yang mabrur tapi juga merembet pada ritual penambahan nama
dan peningkatan status sosial. Kan jadi ambyar tuh...
Gelar
Haji Merupakan Siasat Penjajah Belanda Untuk Menandai Tokoh Yang Berpotensi
Menggoyah Pemerintahan Kolonial
“Hah,,, baru tau saya?”
Bagi orang-orang yang
berfikiran sempit dan malas membaca, pasti kaget kalo kita kasih tau gelar haji
itu sebenarnya cuman siasat Penjajah Belanda untuk menandai tokoh-tokoh yang berpotensi
menggoyah pemerintahan kolonial.
Sejak zaman dahulu
pemerintah kolonial belanda, telah menyadari kekuatan yang dimiliki umat islam
begitu besar. Jika itu semua dapat digerakkan dengan maksimal, habislah
kekuasaan mereka.
Intinya, yang mereka
harus matikan adalah para tokoh-tokoh masyarakatnya (orang-orang yang didengar
oleh masyarakat). Karena kalo mereka tidak diawasi, mereka berpotensi menggerakkan
masa, dan mengganggu stabilitas kemanan negara pada masa itu.
Karena kebanyakan
orang-orang yang mampu berhaji pada masa itu adalah mereka yang punya potensi
seperti diatas, maka oleh sebab itulah, sebagai penanda, mereka di beri gelar
‘Haji’ dibelkang namanya, supaya mereka bisa mudah dipantau.
Kalo tiba-tiba ada
suatu kelompok melakukan pemberontakan, tinggal disingkirkan tokoh masyaraknya
yang sudah berhaji, maka secara otomatis, habis lah kelompok itu, karena
tokohnya sudah dihentikan.
Gelar
‘Haji’ Itu Bid’ah ( eh, jangan sensi dulu.....)
Penambahan gelar ‘haji’
bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji adalah suatu hal yang
mengada-ada dalam agama, karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW,
tidak pernah dicontohkan oleh Para Sahabat nabi, Tidak pernah diajarkan oleh para
imam mazhab, bahkan, tidak pernah diajarkan oleh wali songo, (yang notabennya
merupakan ulama yang menyebarkan agama islam di Nusantara). Sehngga, bisa
dibilang ini adalah perkara yang diada-adakan, alias ‘bid’ah’.
Bahkan, walaupun
ditinjau dari aspek budaya, ini juga bukan budaya indonesia. Ini sebenarnya, warisan
penjajah kolonial!. Jadi ini bukan budaya indonesia !. ini budaya barat !. mau
dibilang ‘pengikut budaya barat?’
Padahal kalo
dipikir-pikir, nggak ada tuh ketentuan menambahkan gelar dibelakang nama jika
seseorang pernah melaksanakan suatu ibadah tertentu.
Hanya karena bapak A sudah
melaksanakan ibadah haji, lantas dia diberi gelar haji dibelakang namanya. Berubahlah ia jadi “H. A” (Haji A). Sedangkan ibadah-ibadah yang lain, nggak
kyak gitu tuh.
Misalkan nih, saya
sudah melaksanakan ibadah sholat, nggak ada tuh yang manggil saya “S. Aziz”
(Sholat Aziz), saya sudah melaksanakan Ibadah Puasa, nggak ada tuh yang manggil
saya “P. Aziz” (Puasa Aziz). Wkwkwk,,, kan jadi lucu
Oke deh kalo ada yang
bilang “kan itu khusus untuk ibadah haji,
karena perintahnya sekali seumur hidup”. lah justru kalo pola pikirnya
seperti itu, harusnya ibadah-ibadah yang lebih wajib untuk dilaksankan, lebih
diperhatikan.
“kan itu khusus untuk ibadah
haji, karena biayanya besar” . lah lu kira biaya zakat juga nggak besar,
biaya jihad nggak besar?. Orang yang berjihad aja, kita sebut “Syuhada” jika
dia telah gugur dimedan juang, itupun nggak di tambahin tuh, gelar “S”
dibelakang nama dibatu nisannya.
Galar
Haji Hanya Ada di Indonesia
Orang Arab Saudi aja,
yang rumahnya depan Ka’bah, nggak ada tuh yang dipanggil Pak Haji, padahal
mereka bisa haji tiap tahun, kalo mereka mau. Muhammad bin Salman (raja saudi) aja nggak ada
tuh yang manggil beliau H. Muhammad bin Salman.
Paul Pogba aja, (orang
perancis, pemain bola dari club Manchester United) yang sering melaksanakan
ibadah haji, nggak ada tuh tambahan gelar Haji dinama yang ada di Jersinya.
( source : jawapos.com ) |
Padahal
kalo seandainya ditambahin, terus jadi “H. Pogba” wah,,, keren banget kayaknya, bisa jadi headline berita internasional, “sudah melaksanakan ibadah haji, nama di
jersi Paul Pogba di tambahkan H”. wkwkwk,, ambyar.. !
Tulisan
Ini Bukan Sentimen
“katakanlah
kebenaran, walaupun itu pahit”
Sebagai penutup, perlu
rasanya untuk saya sampaikan, bahwa tulisan ini semata-mata saya buat sebagai
media menyampaikan keresahan saja, bukan didasarkan sentimen, atau kebencian
kepada ‘Bapak Haji atau Ibu Hajjah’. Karena seringkali dalam banyak penglaman,
seolah-olah bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, lebih mengutamakan
kenaikan status sosial karena gelar hajinya, daripada kenaikan ketakwaannya
kepada Allah SWT. Kan nanti takutnya ibadah yang sudah dilaksankan dengan
banyak pengorbanan harta dan tenaga jatuh pada ria’ (ngeri kan?).
Kan sekarang, yang banyak
jadi jargon kampanye di pemiilu itu ‘nasionalis-religius’
tuh, maka oleh sebab itulah kita
tunjukkan nasionalisme kita dengan menjunjung budaya indonesia, bukan malah
melestarikan budaya pemerintah kolonial belanda. Kita sama-sama tunjukkan
religius kita dengan mengikuti ketentuan yang sesuai dengan perintah Nabi dan
para Ulama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar