Pagi-pagi saat mau memulai aktivitas KKN, tak sengaja membuka Tranding Twitter Indonesia. Tiba-tiba terkagetkan dengan berita tentang Pembakaran Masjid di Bagik Nyaka Lombok Timur yang memuncaki tranding topic Indonesia.
Tidak ingin mengomentari siapa yang benar dan siapa yang salah, saya hanya ingin bercerita tentang Perjalanan hidup saya tentang Perbedaan Manhaj dalam berislam.
Sekarang diusia yang masih ke-21 rasa-rasanya terlalu senonoh untuk berkomentar jauh tentang kasus pelik yang viral akhir-akhir ini, tapi sedikit sejarah hidup saya mungkin bisa diambil secuil pelajarannya tentang menyikapai perbedaan.
Saya lahir di Desa Batuyang, Desa yang dari dulu Suka Puasa dan Lebaran lebih dulu dari ketetapan mentri agama, kalo sholat subuh di Masjid tidak qunut, kalo tarawih 8 rakaat. Artinya dari kecil lingkungan kami di mesjid kental sekali dengan kultur Muhammadiyah, salah satu Ormas Islam tertua dan terbesar di Indonesia.
Aikmel, khususnya Bagik nyaka tentu sudah sama2 kita ketahui merupakan daerah pusat Pondok Pesantren Salafi di Lombok Timur.
Beranjak di masa kuliah, saat baru masuk di Unram Alhamdulillah saya dipertemukan dengan orang-orang di Mt An-Nahl Fakultas Peternakan, yang kemudian menjadi jalan pembukaan bertemu dengan teman-teman di Lembaga Dakwah Kampus. Tentunya disini lingkup interaksi dengan teman2 dengan berbagai macam latar belakang dan pemahaman keagamaan tambah banyak, tapi Alhamdulillah kami bisa disatukan dengan pemahaman yang sama tentang pentingnya persatuan umat. Yang oleh orang diidentifikasi sebagai gerakan Tarbiyah.
Berbagai isu miring tentu silih berganti menghampiri, di Cap gerakan eksklusif, di framing sebagai penyebab Unram dikatakan Kampus Radikal, diisukan sebagai gerakan multinasional, radikal, berideologi Khilafah dll. Yang tentu sangat-sangat menyesakkan.
Dari semua pemahaman, dan gerkan yang berbeda-beda tersebut, tentu saja bukan kapasitas saya untuk menilai mana yang lebih baik, karena memang itu semua bukan untuk dibandingkan, melainkan untuk difahami sudut pandangnya.
Ketika duduk beraama keluarga atau teman yang bermanhaj Salafi tentu saya akan menghindari cerita tentang kisah-kisah heroik saat turun kejalam bersama teman-teman sesama Mahasiswa, karena dikajian Salafi Demo hukumnya haram, walau itu aksi damai sekalipun. Saya juga tentu menghindari bercerita kalo saya misal habis menghadiri acara Maulidan karena itu dihukumi bid'ah.
Ketika duduk bersama teman-teman yang kulturnya NU tentu saya juga mengindari bercerita kalo sebagian keluarga saya bermanhaj salafi, saya juga tentu tidak akan menghukumi bid'ah dzikiran atau maulidan, atau bahkan sekedar bercerita kalo saya juga sering ikut kajian di Masjid Lawata Mataram pun saya hindari, karena tentu mereka akan merasa beda dengan saya.