Selasa, 04 Januari 2022

Bijak Menempatkan Diri

Pagi-pagi saat mau memulai aktivitas KKN, tak sengaja membuka Tranding Twitter Indonesia. Tiba-tiba terkagetkan dengan berita tentang Pembakaran Masjid di Bagik Nyaka Lombok Timur yang memuncaki tranding topic Indonesia.


Tidak ingin mengomentari siapa yang benar dan siapa yang salah, saya hanya ingin bercerita tentang Perjalanan hidup saya tentang Perbedaan Manhaj dalam berislam.

Sekarang diusia yang masih ke-21 rasa-rasanya terlalu senonoh untuk berkomentar jauh tentang kasus pelik yang viral akhir-akhir ini, tapi sedikit sejarah hidup saya mungkin bisa diambil secuil pelajarannya tentang menyikapai perbedaan.

Saya lahir di Desa Batuyang, Desa yang dari dulu Suka Puasa dan Lebaran lebih dulu dari ketetapan mentri agama, kalo sholat subuh di Masjid tidak qunut, kalo tarawih 8 rakaat. Artinya dari kecil lingkungan kami di mesjid kental sekali dengan kultur Muhammadiyah, salah satu Ormas Islam tertua dan terbesar di Indonesia.

Saat mau masuk SMP, awalnya dulu mau masuk di Pondok Pesantren Nurul Hakim di Kediri Lombok Barat, sempat mengikuti orientasi satu minggu, tapi tidak jadi karena sakit.
Akhirnya masuk di salah satu Madras Tsanawiyah di Wanasaba Lombok Timur.
MTs Nahdlatus Saufiyah Wanasaba, sekolah yang awalnya tidak pernah saya niatkan tapi takdir ternyata berkata lain. Waktu 3 tahun ternyata membuat saya bangga dan cinta terhadap sekolah MTs saya dulu.

Nahdlatul Saufiyah adalah salah satu ormas Islam yang berkultur sangat NU, bahkan didepan gerbang sekolah kami ada logo NU yang sangat besar terpampang.
Ketika saya MTs dulu tentu banyak sekali kultur shock yang saya alamai, seperti diajak Ziarah makam dll. Yang intinya sangat NU sekali secara kultur.
Ada banyak sekali hal-hal baru, sudut pandang baru, yang saya dapatkan dan tentunya belum saya dapatkan sebelumnya.

Saat SMA, Saya memilih untuk melanjutkan di SMA 1 Aikmel, sekolah negeri yang rasa pesantren kata orang.
Bukan hanya karena Sekolah kami dulu dekat dengan Pondok Pesantren, tapi aturan-aturan yang dibuat oleh guru2 kami dulu memang sangat MasyaAllah, seperi siswi perempuan harus memakai hijab yang menutup dada, kemudin baju harus menutup bokong, tidak boleh memasukkan baju.
Untuk siswa bahkan ketika sholat dzuhur berjamaah, ketika kita lupa bawa peci, kita bisa dihukum lari  keliling lapangan.
Betapa islaminya kultur sekolah kami dulu.
Disinilah awal mula saya banyak bergalu dengan teman2 dengan latar belakang pemahaman agama yang berbeda. Ada yang nggk bolehin ziarah makam, ada yang membolehkan, ada yang tidak membolehkan zikir di rumah orang yang meninggal ada yang tidak, dan masih banyak lagi hal-hal yang berbeda dan sudut pandang yang berbeda yang saya temukan.

Aikmel, khususnya Bagik nyaka tentu sudah sama2 kita ketahui merupakan daerah pusat Pondok Pesantren Salafi di Lombok Timur.

Beranjak di masa kuliah, saat baru masuk di Unram Alhamdulillah saya dipertemukan dengan orang-orang di Mt An-Nahl Fakultas Peternakan, yang kemudian menjadi jalan pembukaan bertemu dengan teman-teman di Lembaga Dakwah Kampus. Tentunya disini lingkup interaksi dengan teman2 dengan berbagai macam latar belakang dan pemahaman keagamaan tambah banyak, tapi Alhamdulillah kami bisa disatukan dengan pemahaman yang sama tentang pentingnya persatuan umat. Yang oleh orang diidentifikasi sebagai gerakan Tarbiyah.

Berbagai isu miring tentu silih berganti menghampiri, di Cap gerakan eksklusif, di framing sebagai penyebab Unram dikatakan Kampus Radikal, diisukan sebagai gerakan multinasional, radikal, berideologi Khilafah dll. Yang tentu sangat-sangat menyesakkan.

Dari semua pemahaman, dan gerkan yang berbeda-beda tersebut, tentu saja bukan kapasitas saya untuk menilai mana yang lebih baik, karena memang itu semua bukan untuk dibandingkan, melainkan untuk difahami sudut pandangnya.

Ketika duduk beraama keluarga atau teman yang bermanhaj Salafi tentu saya akan menghindari cerita tentang kisah-kisah heroik saat turun kejalam bersama teman-teman sesama Mahasiswa, karena dikajian Salafi Demo hukumnya haram, walau itu aksi damai sekalipun. Saya juga tentu menghindari bercerita kalo saya misal habis menghadiri acara Maulidan karena itu dihukumi bid'ah.

Ketika duduk bersama teman-teman yang kulturnya NU tentu saya juga mengindari bercerita kalo sebagian keluarga saya bermanhaj salafi, saya juga tentu tidak akan menghukumi bid'ah dzikiran atau maulidan, atau bahkan sekedar bercerita kalo saya juga sering ikut kajian di Masjid Lawata Mataram pun saya hindari, karena tentu mereka akan merasa beda dengan saya.

Poinnya adalah bijak menempatkan diri, bijak menyampaikan sesuatu, bijak menanggapi suatu isu.


Artikel Populer

INDONESIA TANPA PACARAN, GERAKAN PEMERSATU AKTIVIS DAKWAH

- INDONESIA TANPA PACARAN, GERAKAN PEMERSATU AKTIVIS DAKWAH Gerakan #IndonesiaTanpaPacaran atau ITP adalah suatu gerakan di media social y...